Angkot Ngebul




“Lha wong bumi pertiwi ini sudah terlanjur rusak parah e... kok ya kita yang disuruh ndandani...piye ta Eyang Guru ini.” Sardun tiba-tibangedumel sendiri.Sembari ngeloyormeninggalkan empat temannya yang masih kelelahan,leha-leha di bawah pohon trembesi yang nancep mentep di pinggiran jalan. Sardunmbesengut.
Mereka, ‘Pandawa Lima’nya, eh maksudnya ‘Pendagel Lima’nya Negeri Gang Pojok Sini setelah beberapa hari yang lalu dititah untuk mengurusibumi pertiwi oleh Eyang Bhatara Guru, Guru Spritual mereka di Negeri ‘GPS’, baru sadarkan diri setelah semaput beberapa waktu.Karena ternyata tubuh mereka perlu adaptasi dengan bumi pertiwi. Dan itu butuh waktu yang demikian lama. Sampai beberapa hari.  Negeri ‘GPS’ dan bumi pertiwi jelas jauh berbeda. Mereka lain dimensi namun satu ruang. Sama-sama di Nusantara.
“Ngasih tugas kok ya ndandani negara rusak...”
Song yang masihnyelempitinbatang rumput di sela-sela giginyamanggut-manggut manut.Setuju dengan asal njeplaknya Sardun barusan.
“Setuju aku Dun sama kamu.” Song angkat kaki. Eh salah ding... Angkat bicara maksudnya.
“Rumput ini...” Song sambil memandang-mandang dalam rumput yang sejak tadi nyelempitdi sela-sela giginya, “...kalau tak rasa-rasain, nggak seenak rumput di tanah air kita, Negeri Gang Pojok Sini. Rasanya itu nggak manis, tapi pait!” Song membanting keras rumput yang di pegangnya sejak tadi. Eksennya mirip bintang-bintang film laga saat melepas kemarahannya.
“Ya begitu itu kalau polusi sudah rata... sampai rumput ya melu-melu pait. Wong rakyatnya senang bukan main kok ngoleksi mobil.Akhirnya ya mbeludak bukan main polusi dari mobil-mobil itu. Angkutan umum jadi sepi penumpang. Orang-orang sudah pada suka naik kendaraan sendiri-sendiri.Opo’o se kok nggak senang kumpul satu kendaraan sama orang lain” Kenyut nimbrung.
Sardun yang tak jadi ngeloyor sejak Song ikut bicara diam-diam mulai merapatkan alisnya. Sedang Upil  masih sambil rebahan memandangi daun-daun pohon yang menjaganya dari sengat.  Ningrat, seperti biasanya, sambil ‘am em am em’ manggut-manggut takzim. Sok mudeng.
“Anu... itu ya, kalau menurutku, pemerintah kurang serius menggalakkan penertiban pembatasan kendaraan pribadi.” Ningrat nyela-nyelani. Eh lah dalah, mudeng ternyata si Ningrat ini.
“Halah, kurang apanya? Nggak serius malah. Atau jangan-jangan emang nggak niat ngurusi yang beginian.” Sardun mulai esmosi kalau sudah bicara masalah tindak-tanduk pemerintah.
“Emmm... begitu ya.” Upil mulai tertarik. Sambil ngutak-ngatik tablet Upil niat browsing buka twitter. Tablet yang moro-moro ada di tas Upil tak lain adalah sangudari Eyang Guru yang tahu betul Upil demen bukan main dengan internet.Belum juga sempat  login Upil tertarik mengakses berita yang lumayan menarik. “Lha ini...” Upil menunjukkan tabletnya, “mobil-mobil sekaranglho semakin hari semakin murah saja... semakin mudah dijangkau masyarakat.”
“Halah berita basi itu.” Ujug-ujug Sardun memotong penjelasan Upil. “Anehnya kalangan pemerintah kok banyak yang setuju mobil-mobil murah macam begitu masuk Negeri. Katanya biar perekonomian negeri semakin maju. Taik opo!Bukannya aku nggak senang kalau orang negeri ini punya mobil semua. Tapi kan ya...
Lho bener itu Dun. Kan makin banyak yang punya mobil makin banyak pemasukan negeri hasil daribbm yang dibeli sama pemilik mobil. Bener itu.”Gantian. Tadi Sardun yang memotong Upil bicara. Sekarang Ningrat yang medot Sardun ngomong.
“Lah, kowe iki kok ya seneng ngeyel... terus masalah angkutan umum yang sepi tadi kamu taruh di utekmu yang sebelah mana kok nggak mbok pikir?Mbokkira angkutan umum itu juga bukan termasuk penghasilan negeri?”
Ningrat mengkerut, kena sekak.
“Hem...” sambil mecucu Upil mbukak perkoro. “katanya biar bisa menyejahterakan rakyat yang belum punya mobil ya? Tapi nyatanya yang beli orang-orang berduit semua. Sumbernya bisa dipercaya ini.” Upil ngelungnetablet ke Sardun.Sardun ngemat-ngematke.
“Nah itu. Benar jareku kan? Orang-orang sekarang senangnya bukan main ngoleksi mobil.” Kenyut jadi merasa paling benar.
“Padahal itu satu keluarga ya?” Song nyergah.
Lha iya.”
“Lama-lama nanti ada yang jual pesawat murah. Setiap keluarga yang punya uang banyak bisa memiliki pesawat pribadi satu”
Lha ya itu lho, mestinya satu keluarga cukup beli satu mobil saja. Mestinya pemerintah bikin peraturan macam begini ini.” Song nambahi.
He’eh.” Ningrat sudah berani angkat tangan... eh salah ding. Angkat bicara maksudnya.
“Anaknya sendiri, bapaknya sendiri, ibunya sendiri, embahnya sendiri. Satu keluarga pegang mobil satu-satu.” Upil nyusul. “Kebek polusi negara ini jadinya.”
“Anak-anak sekolah ya sekarang kalau berangkat bawa mobil. Guayane.” Song nututi.
“Ya jadinya nabrak-nabrak itu. Kayak anak siapa itu? Ahmad Dhan Dhan sopo itu? Ah, Mbuhlah Ahmad Dhancuk  paling.” Sardun mulai mencak-mencak.
“Hush, lambemu!”
“Lha emang tenan itu. Punya anak cilik segitu kok dibiarkan bawa mobil sendiri. Jadinya ya nabrak-nabrak sampai mateni orang banyak kayak gitu...” Sardun bela diri.“Hah, embuhlah!
“Karuan jalan kaki. Selain sehat juga kita bisa nyoposedulur yang kebetulan ketemu dijalan. Jadi ini...” Song nepuk-nepuk dadanya. “Ego dari setiap kita bisa sedikit terkurangi dengan saling sapa.” Song mendadak metuek.
“Emm, iya-iya. Betul itu.Peran pemerintah sebagai pengendali bebasnya mobil-mobil murah seperti itu juga memang sangat perlu.” Ningrat berhenti sebentar. Seperti mikir ‘apa ada yang salah dengan omonganku?’ “Eh, maksudku bukan mobilnyading yang dibatasi. Tapi setiap satu keluarganya yang perlu dibatasi kepemilikan mobilnya dalam batas seperlunya, secukupnya. Biar mobil-mobil itu merata dan nggak terlalu mbeludak.”
Sejurus Sardun memandang serius ke arah Ningrat. Lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Ningrat. Ningrat ragu-ragu. “Cerdas!” Sardun memuji. Ningrat cengegesan.
“Selain itu, menurutku pemerintah juga harus serius nangani masalah angkutan atau transportasi umum yang masih banyakjauh di bawah standar kelayakan. Biar masyarakatnya nggak aras-arasen kalau mau naik transportsi umum.” Kenyut nambahi.
Ngeten.” sambil mengacungkan jempol Upil buru-buru merespon.
Sardun mulai cengengesan. Ia  mulai membayangkan andai saja bumi pertiwi dipimpin orang-orang macam ini. Tapi memang, kadang seseorang bisa berangan-angan jauh saat ia belum berhadapan langsung dengan apa yang diangankannya. Tapi ketika waktu untukberhadapan langsung itu tiba, saat bertindak sudah ada, mendadak ia mengkeret melihat raksasa kebatilan yang terlanjur besar dan buas tak berhati. Mendadak jadi malas bertindak karena kadung enak dengan fasilitas yang sebenarnya ia jadikan media untuk bertindak.
Sardun merogoh saku celananya, mengambil bungkus rokok dan menyulutnya sebatang.
Lah lah Dun. Wongkita ini dari tadi bicara soal polusi, kok malah kamu ikut-ikutan nambahipolusi dengan rokokmu itu.” Upil, satu-satunya yang tidak merokok dari mereka bertindak sebagai penegas. Yang lain cuma diam. Ningrat urung mengeluarkan rokok yang sudah digenggamnya.
“Hahaha, bayangkan saja. Rokokku ini bukan apa-apa kalau dibanding dengan transportasi umum yang nggak dirumat pemerintah, yang kebulnya nggak karuan itu. Atau nggak bakal seimbang kalau dibanding dengan mobil-mobil yang kata Ningrat mbeludak tadi.”
Dalam hati Song mbelaniSardun.
“Ya tapi paling tidak...”
Wes wes wes, ayo jalan!” Sardun memotong sambil berjalan mendahului ke pinggiran jalan.
Baru saja Sardun menginjakkan kakinya ke pinggiran jalan mendahului teman-temannya, sebuah angkutan kota yang sudah bobrok dan ngebul  mengeluarkan asap hitam ngebut berebut penumpang dan hampir menyerempetnya. Angkot itu meninggalkan asap hitam yang tebal akibat solar oplosan tepat dimana Sardun berdiri.
“Oo... Asyu!” Sardun kembali mencak-mencak.

0 komentar:

Posting Komentar