Memaknai keberanian Muhammad


       Setiap kali aku membaca ayat al-quran yang menjelaskan tentang peperangan di jaman dahulu , ketika Muhammad diawal-awal perjuangannya menegakkan agama islam, aku sering merasa bergidik, ngeri, takut, dan dihampiri perasaan-perasaan mencemaskan lainnya. Aku membayangkan, andai saja aku berada pada keadaan dimana sebagai salah seorang masyarakat makah kala itu. Dapat dipastikan, dua kemungkinan yang akan jatuh pada keputusanku. Yakni, percaya dengan apa yang diajarkan Muhammad atau mengingkarinya. Nah, jika pada kemungkinan yang awal, aku beriman dengan agama yang dibawa Muhammad yang kala itu mendapat pertentangan yang tak selevel dengan pertentangan-pertentangan masyarakat kini terhadap ajaran-ajaran sesat. Tentulah peperangan adalah jalan satu-satunya untuk mempertahankan apa  yang aku dan pengikut Muhammad yang lain yakini. Oleh karena kala itu perlawanan yang dihadapkan masyarakat quraisy adalah peperangan setelah ajakan baik-baik yang disuarakan Muhammad. Sampai pada titik inilah aku merasa bergidik, ngeri, takut dan perasaan-perasaan mencemaskan lain datang. Apa iya aku akan seberani Muhammad dan para panglimanya ketika perang badar? Berdiri di barisan depan bersama Muhammad dengan pedang terhunus tanpa gentar sedikitpun melihat jumlah musuh yang berkali-kali lipatnya. Oh, tak perlulah aku membayangkan semuluk itu. Mungkin, ketika wahyu Allah yang berisikan perintah untuk berperang disampaikan jibril, aku sudah berpikir membentuk seribu cara untuk mendapat sejuta alasan yang akan aku hadapkan kepada Muhammad.  Atau, aku akan mengeluh kenapa harus diperintahkan untuk berperang. Dan dalam hal ini aku cukup merasa tersindir ketika aku tak sengaja membaca firmanNya yang satu ini, “Mereka berkata: ya Tuhan kami, duh kenapa engkau wajibkan berperang kepada kami? Kenapa tidak engkau tangguhkan peperangan ini barang beberapa waktu.” QS. An-nisa:77.
Untuk yang satu ini aku benar-benar merasa akulah yang disindir Tuhan. Sebenarnya setiap kali ayat semacam ini terbaca olehku aku cukup merasa bergidik dan ngeri.  Ngeri karena membayangkan diriku yang akan jadi pengecut ketika ayat semacam ini turun. Apalah arti keberanian yang diagung-agungkan para pemuda saat ini jika dibandingkan dengan keberanian sejati pasukan perang islam kala itu. Keberanian mereka benar-benar berdasar. Berdasar pada pembelaan mereka dengan sungguh-sungguh terhadap apa yang mereka yakini kebenarannya. Bandingkan dengan pemuda-pemuda jaman sekarang. Keberanian yang sering diagung-agungkan sekarang seoertinya tak lebih adalah kesembronoan dan kegegabahan yang tak berdasar. Apa kesembronoan dan kegegabahan bisa disamakan dengan keberanian? Tentu tidak. Keberanian adalah ketika kesungguhan membela apa yang diyakini benar mampu melahirkan sikap siap melakukan apapun untuk melindungi apa yang diyakini benar tadi. Lantas apa coba alasan yang prinsipil sehingga antar geng atau antar kampung sangat mudah terlibat tawuran? Apakah hanya karena gadis kampung A digodai pemuda kampung B bisa dibilang hal yang sangat prinsipil sehingga pertempuran antar kampung harus terjadi? Jadi, aku merasa ngeri dan bergidik karena tak sanggup membayangkan bagaimana diriku menjadi seorang pengecut.  Jikapun aku berani membela islam dengan cara berperang aku tak yakin apakah keberanianku murni tanpa dibarengi nafsu dan emosi.  Karena bukankah keberanian yang murni dan yang sejati itu tanpa dibarengi emosi dan niatan lain kecuali membela atas apa yang diyakini benar? Bukankah begitu?
        Nabi dan pasukan perangnya memerangi kekafiran, bukan memerangi si kafirnya. Inilah kenapa Ali r.a tidak jadi menebaskan pedangnya ke leher musuh yang meludahinya. Alasannya karena tak ingin kemurnian niatnya membela islam terbarengi dengan emosi.
     Nah, sampai sekarang aku masih pengin terus memaknai keberanian Muhammad dan sahabat-sahabatnya dalam berperang. Bahkan juga keberanian para kafir. Dalam hal keseriusan membela apa yang mereka yakini benarnya.

0 komentar:

Posting Komentar