Setelah
acara perpisahan selesai, Lia dan Dani berjanji pergi ke pantai bersama. Hanya
berdua.
“Hai,
alhamdulillah ya! Akhirnya kita lulus. Masa putih abu-abu sudah berakhir,” kata
Dani sambil melingkarkan tangannya ke tubuh Lia.
“Hemm, iya!
Gak nyangka ya, terasa cepet banget!” jawab Lia sambil memegang tangan Dani.
“Setelah ini
kamu tetep nglanjutin kuliah di sini ya Yang?” lanjut Lia.
Dani melepas
pelukannya. Terlihat ada beban di raut wajahya.
“Kayaknya
iya. Kamu? Jadi pindah ke luar Jawa?” tanya Dani. Lia mendesah. Tampaknya dia
berat bila melanjutkan kuliah tanpa Dani.
“Gak tahu
lah Yang. Mungkin,” jawab Lia singkat.
“Oh, ya,
kamu bener mau mulai menghafal Al-Qur’an?” tanya Lia yang semakin membuat muka
Dani kusut. Dani menganggut.
“Aku pengen
jadi seorang hafidz,” tuturnya.
Lia
memandang ke arah lautan luas. Banyak bayang-bayangnya ke depan; tentang masa
depannya—bersama Dani.
“Kamu gak
pengen ikutan hafalan juga Yang?” tanya Dani. Lia hanya diam tak menjawab. Dani
memeluknya, lantas menciumnya.
“Mungkin ini
peluk dan ciuman yang terakhir Yang. Setelah ini aku bener-bener harus menjaga
sentuhanku. Setelah ini aku ingin berubah menjadi orang yang lebih baik. Aku
yakin, nanti aku akan memeluk-menciummu lagi saat kamu bener-bener halal untukku!”
Dani
melepaskan pelukannya. Perlahan salju-salju di mata indah Lia meleleh ia
terharu. Dalam hatinya ia berjanji bahwa ia juga akan menjaga semuanya demi
Dani. Ia juga ingin ikut jejak Dani.
Mereka
lantas pulang.
***
Dani
benar-benar bingung. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia sudah bertanya pada
kakak-kakak Lia juga teman-temannya tentang keadaan Lia. Tapi mereka semua
bilang tak tahu. Lia tiba-tiba saja menghilang tanpa ada kabar. Berkali-kali
Dani mencoba menghubungi nomor Lia. Tapi tidak aktif.
“Mana
mungkin Lia tega ninggalin aku?” Dani membatin.
Setelah satu
bulan Dani mencari-cari tentang Lia, akhirnya ia putus asa. Semangatnya telah
hilang. Tapi tidak dengan rasanya pada Lia.
“Ah, ya
sudahlah. Pergi-pergi saja sana! Kalau memang jodoh pasti kembali.”
Akhirnya
Dani memulai hafalannya tanpa ada penyemangat terbesarnya. Dan dengan susah
payah akhirnya Dani bisa menyelesaikannya dengan waktu 2 tahun setengah.
***
Tak terasa 4
tahun berlalu. Dani telah menyelesaikan hafalannya setahun setengah yang lalu.
Dan hari ini adalah wisuda sarjananya. Hari yang bersejarah tentunya. Orang
tuanya datang jauh-jauh untuk melihatnya di wisuda. Namun terasa ada yang
kurang bagi Dani tanpa kehadiran Lia yang tiba-tiba menghilang 4 tahun yang
lalu.
Sungguh itu
menjadi kenangan yang pahit baginya.
Setelah
acara selesai, Dani langsung menghampiri orang tuanya. Ia hamburkan peluk pada
mereka.
“Alhamdulillah,
akhirnya anak kita sudah sarjana ya Pak,” kata ibunya membanggakan. Ayahnya
hanya tersenyum.
“Mulai sekarang
tanggung jawabmu tambah besar Le. Kamu sebagai laki-laki harus tangguh untuk
menghadapi masa depanmu.” Kata ayahnya memberikan motivasi.
“Enggeh,”
kata Dani takzim.
Dani
menghampiri teman-temannya yang berada tidak jauh dari Dani.
“Woi,
sarjana baru!” kata Dani sambil memukulkan topi wisudanya ke Toni.
“Hahaha. Ah
bisa saja bapak sarjana bahasa Inggris ini.” Toni balas meledek.
Mereka
menyebar gelak tawa bersama. Membuat orang yang lewat di sekitarnya hanya
menggeleng melihat tingkah mereka.
“Wah wah
wah, sudah sarjana kok masih saja kelakuannya tidak berubah.” Kata Pak Joko,
Dosen pembimbing skripsi Dani.
“Eh, Pak
Joko. Ya maklumlah Pak! Namanya juga sarjana baru.” Dani membela diri. Toni
hanya tersenyum.
Saat Dani
sedang asyik berbincang-bincang dengan Pak Joko, tiba-tiba pandangannya
menabrak sepasang bola mata teduh seorang gadis. Gadis yang anggun dengan
jilbab besarnya. Dan pancaran qur’ani terpancar dari jiwanya. Dani merasa tak
asing dengan paras itu. Ia pandang lekat-lekat.
“Oh,
ternyata—” Dani hampir tak percaya, “—Lia!” katanya lirih.
Lia
menundukkan kepala sambil melangkah menghampiri Dani. Dani hanya diam. Ingin
rasanya ia hamburkan peluknya ke tubuh Lia, seperti dulu saat ia SMA. Namun
buru-buru hati kecilnya menahan keinginan itu. Sejak ia menghafal Al-Qur’an ia
tak pernah menyentuh wanita kecuali ibunya.
“Dan...,”
Lia memanggil namanya tak seperti saat SMA duku. Biasanya Lia memanggilnya
Sayang.
“Lia...,”
jawab Dani.
“Assalamualaikum,”
kata Lia. Ia sampai lupa mengucap salam karena gugupnya.
“Waalaikumussalam,”
jawab Dani gemetar. Ia juga gugup.
“Kemana aja
kamu, Lia?” lanjut Dani.
“Maafin aku
Dan, aku gak pamit. Aku pergi mondok untuk memperdalam agama. Aku juga hafalan
Al-Qur’an di sana.” Jawab Lia sambil terus menundukkan kepalanya. Ia
benar-benar menjaga pandangannya.
“Yang
benar?” tanya Dani sedikt tak percaya, namun sejenak rautnya memancarkan
kebahagiaan. Lia mengangguk.
“Kamu masih
punya rasa itu, rasa sewaktu kita SMA dulu?” Lia mengangguk lagi.
“Kamu?”
Ganti Lia bertanya. Giliran Dani yang mengangguk. Lia tersenyum.
Tiba-tiba
orang tua Dani menghampiri mereka.
“Lho, siapa
ini, Le? Kok ayu!” tanya ibunya.
“Ini lho Bu,
yang namanya Lia. Yang selalu aku critain di telepon biasanya. Ternyata dia
pergi mondok.” Jawab Dani.
“Oalah, ini
tho! Pantes saja anakku kesemsem sama kamu Nduk! Sampai-sampai dia nolak
dijodohin sama pamannya.” Kata ibu Dani memuji.
“Ah, Ibu
bisa saja. Maaf ya Bu, saya jadi ganggu pikiran anak Ibu.”
“Ah, nggak
apa-apa Nduk kalau yang ganggu secantik kamu.”
Mereka pun
tertawa bersama.
“Ya sudah
Pak, ayo sekarang kita ke rumah Lia. Kita lamarkan anak kita.” Ajak ibu Dani.
“Ayo!” kata
ayah Dani.
Kedua orang
tua itu tampak kompak sekali melangkah menuju mobil mereka. Sedangkan Dani dan
Lia sama-sama kebingungan. “Melamar?” batin Dani bahagia. Ia menatap Lia.
Pandangan mereka bertemu. Mereka tersenyum bersama.
0 komentar:
Posting Komentar