Malam ini saya duduk di sebuah majelis, untuk
melaksanakan sholat isya berjamaah. Setelah jamaah selesai, para jamaah pun
bubar menghambur berserakan disekitar masjid. Karena memang majelis ini majelis
pondok pesantren, sudah barang
tentu didalam masjid berbaur
menyatu antara ustadz dan santrinya. Saya masih duduk sambil membaca wirid
eirid yang diijazahkan guru saya. Sambil melihat lihat kesekitar, sambil pula
otak ini saya buat menjadi semacam alat untuk mengamati keadaan disekitar.
Begini kiranya hasil analisa mata saya ,
Disebelah tiang masjid saya melihat ada
seorang ustadz yang sedang membaca sambil sesekali menutup kitab alfiahnya.
Disebelahnya,kira kira berjarak selangkah ada seorang santri yang nampaknya sedang
mengkhusyu’kan diri membaca yasin. Saya malihat banyak santri yang lalu lalang
seperti rutinitas llintas kendara didepan mereka. Menurut saya, ada macam macam
gaya santri atau lebih tepatnya
orang orang –lah, ketika sedang melewati dua orang yang berbeda strata tersebut.
orang orang –lah, ketika sedang melewati dua orang yang berbeda strata tersebut.
Yang pertama, orang yang begitu cueknya-bahkan dengan sombongnya- lewat dan tak sedikitpun menundukkan
kepalanya apalagi membungkuk. Tak peduli itu lewat didepan santri ataupun
ustadz.
Yang kedua, orang ini mengambil sikap yang
sedikit berbeda dengan orang pertama,
namun tampak lebih memuakkan dari pada orang pertama. Berjalan dengan angkuhnya
didepan sang santri, lalu begitu ia melihat sang ustadz serentak saja ia langsung
menundukkan badannya sebungkuk bungkuknya.
Yang ketiga, orang orang ketiga ini memilih tidak lewat didepan
sang santri dan sang ustadz. Melainkan disamping, dibelakang, atau dimana saja
yang sekiranya tidak melewati sang santri dan sang ustadz.
Yang keempat, golongan ini tetap memilih lewat
didepan mereka dengan sikap menundukkan badan sewajarnya ketika melewati sang
santri, begitu melewati sang ustadz ia sedikit menambah bungkukan badannya,
namun tetap dalam batas wajar.
Nah, menurut prinsip kemeruh saya-karena
memang saya tidak begitu weruh- melihat
empat kriteria diatas saya bisa
mengambil kesimpulan cara mereka bersikap.
Orang pertama, mereka adalah orang orang yang
memang sama sekalitak mengerti sikap atau tata krama. Atau mengertipun mereka memilih
acuh tak mau mengerti. Ada juga dari kalangan mereka yang memang tak suka
terikat dengan aturan ataupun norma, ya seperti tata krama salah satunya.
Sehingga mereka memilih sikap apatis dalam satiap sisi kehidupan.
Lanjut ...
Orang kedua, sebenarnya mereka juga sama
sekali tak mengerti tentang tatakrama atau mengertipun hanya sedikit. Tapi
mereka memilih sikap berpura pura mengerti bahkan sangat mengerti dengan
tatakrama. Begitu mereka melintas didepan orang-orang yang terhormat atau yang
dihormatinya mereka segera saja memasang topeng mereka. Kasarnya, orang seperti
ini pandai mencari muka, bermuka dua, penjilat atau mungkin munafik.
Masih belum bosan kan? Lanjut ..
Orang ketiga, mereka hampir sama dengan orang
orang yang disebut diatas tadi,memang benar benar tak tau atau setidaknya tak mau tau. Namun setidaknya mereka tidak
mengambil sikap apatis seperti orang pertama. Walau sebenarnya mereka tak suka
bertatakrama tapi mereka tidak mengambil sikap
dengan tetap apatis atau berpura-pura dengan tatakrama yang dibuat-buat.
Mereka memilih sikap menyembunyikan ketidaksukaannya dengan tidak mengambil dua
pilihan yang tidak disukainya. Nampaknya orang-orang seperti ini selalu pandai
dalam mengambil sikap.
Orang keempat, mereka orang orang yang memang benar benar mengerti dengan
tatakrama dan dengan tatakrama yang mana dan untuk siapa.
Yah, mungkin itu rangkaian kata kemeruh saya
yang saya tak tahu kenapa kok sampai benar-benar tertulis disini.
0 komentar:
Posting Komentar