Waktu istirahat...
Setelah membasuh muka untuk menyegarkan mukanya,
Sino lantas merebahkan badannya yang masih terasa pegal setelah semalam
berjam-jam ia mengerjakan tugasnya. Baru sejenak ia melepas lelah, seseorang
memanggilnya dari pintu kelas.
“Sino....” ternyata Pak Jo, sang pembina osis.
“Iya Pak,” sahut Sino sambil berdiri lantas
menghampiri Pak Jo.
“Nanti setelah pulang sekolah jangan pulang dulu ya,
ke ruang osis dulu sebentar.”
“Ngapain Pak?”
“ya kita rapat sebentar, tadi Dita sudah saya kasih
tahu.”
“Oh, baik Pak!”
Berbicara tentang Dita, semenjak pertama ia menjabat
menjadi ketua osis, bertemu dengan Dita, sang ketua osis putri sewaktu
pelantikan dirinya dan Dita, Sino merasa ada yang berbeda saat pertama
menatap mata Dita. Pun saat-saat dia
harus berdua dengan Dita di ruang osis untuk menyelesaikan tugas-tugas LPJ
kegiatan osis.
Waktu pulang sekolah...
Setelah bel pulang berbunyi, Sino bergegas melangkah
menuju ruang osis. Begitu sampai di ruang osis ternyata Dita sudah menungu.
“Sin....” Sapa dita.
“Dit....” Sahut Sino sambil tersenyum kaku seperti
biasanya.
“Mana Pak Jo?” Tanya Dita.
“Gak tau, Dit,” jawab Sino sambil mengangkat
bahunya.
Tak berselang lama Paak Jo memasuki ruangan. Rapat
dimulai. Agenda siang ini ternyata membahas tentang pengabdian Sino dan Dita
yang harus segera direformasi. Jabatan Sino sebagai ketua osis kini tinggal
menghitung hari akan berakhir. Pertanggungjawabannya harus segera terpenuhi.
Setiap harinya, sepulang sekolah ia selalu harus ke
ruang osis untuk menyelesaikan tugasnya yang masih tersisa bersama teman-teman
osis yang lain.
Suatu ketika ia harus tinggal berdua saja dengan
dita di ruang osis sampai siang. Saat Dita asyik di depan komputer, Sino pamit
kepada Dita untuk keluar, “Dit, tunggu bentar ya!”
“Mau ke mana?”
“Udah, tunggu aja. Bentar kok! Ya?”
“Oke deh.”
Sino bergegas keluar dari ruang osis. Di depan
terlihat Pak Jo tertidur pulas di sofa. Ia—Sino—melangkahkan kaki ke warung
makan terdekat. Ia berniat membelikan Dita makan siang. Entah kenapa hari ini
otaknya terasa encer untuk mencari cara menyenagkan hati Dita. Biasanya tidak
pernah seperti ini. Cara bicaranya dengan Dita pun sudah tidak terlalu kaku
seperti biasanya. Mungkin karena akhir-akhir ini ia sering bertemu dengan Dita,
di ruang osis tentunya.
Tiga nasi bungkus sudah didapat. Satu untuk Pak jo,
satu untuk Dita dan yang terakhir buat dirinya sendiri. Ia pun segera bergegas
kembali ke kantor dan memasuki ruang osis.
“Dita,” panggil Sino sambil membuka pintu ruangan.
“Apa?”
“Makan yuk! Kamu lapar kan?”
“Emang ada makanan?”
“Nih, aku barusan beli tiga bungkus. Kita makan
bareng Pak Jo, setelah itu kita pulang, dilanjutin besok aja. Udah capek!
Gimana?”
“Iya deh, aku juga capek.”
Seusai makan bersama Pak Jo, mereka segera mengemasi
barang-barang dan beranjak pulang.
“Biasanya kamu pulang bareng siapa?”
“Ya, kalau udah kesiangan gini biasanya sama
temen-temen. Soalnya Ayah udah berangkat kerja jam satu siang. Pulangnya malam.
Jadi gak bisa jemput.”
“Terus kalau teman-teman kamu gak ada kayak gini,
gimana?”
“Naik taksi aja, Sin.”
“Gimana kalau aku anterin?”
Tidak biasanya Sino seberani ini, menawarkan jasa
untuk mengantar pulang seorang gadis. Apalagi Dita, gadis yang selama ini ia
kagumi.
“Kamu mau?” Sahut Dita. Spontan.
“Ya maulah,” jawab Sino, “Sekalian biar aku bisa tau
rumah kamu.”
Akhirnya Sino pun membonceng Dita pulang. Sino
benar-benar tak menyangka hari ini ia begitu beruntung bisa mengantar Dita
pulang.
Sino tidak bisa lagi berbicara ketika tangan Dita
memegang pinggangnya. Ia benar-benar tidak bisa konsentrasi mengendarai sepeda
motor CB 100-nya. Ia hanya memacu kendaraannya 40 km/jam. Sampai akhirnya Dita
yang mencoba mencairkan suasana kembali. Ketegangan Sino pun mencair dengan
obrolan-obrolan yang asyik bersama Dita di sepanjang perjalanan.
Akhirnya sampai tujuan, rumah Dita. Tak lupa Sino
meminta nomer hape Dita. Ya, meski mereka sudah kenal hampir setahun ini, ia
belum punya nomernya Dita. Sebab Sino tak punya banyak nyali. Tapi berbeda
dengan hari ini, entah kenapa ia merasa sangat berani.
***
Keesokan harinya, seperti biasa, di ruang osis, Sino
sedang asyik menulis sesuatu di selembar kertas sambil melihat Dita yang
kebetulan juga menulis diary. Tak berselang lama Dita keluar. Tiba-tiba Sino
tertarik untuk membaca diary Dita yang dibiarkan tergeletak dan masih terbuka.
Sino mendekat lantas membaca.
Dear
diary!
Hari
ini aku berduan lagi dengan Sino di ruang osis. Tapi sejak tadi dia cuma diam.
Nggak seperti kemarin. Aku merasa aman begitu dekat dengannya. Kenapa baru
kemarin dia bersikap begitu akrab dan perhatian padaku? Padahal sudah lama aku
ingin merasakan selayaknya kejadian kemarin.
Sino tertegur membaca diary Dita yang benar-benar
membuat hatinya berbunga-bunga. Kenapa baru sekarang ia tahu kalau ternyata Dita
juga menyukainya. Tiba-tiba Dita memasuki ruangan. Sino terkejut. Ia salah
tingkah dan bergegas keluar ruangan.
Melihat tingkah Sino yang tampak gugup, Ditta
menjadi gingung. Ia melihat buku diarynya yang masih terbuka, jangan-jangan Sino membaca diaryku!
Dita benar-benar malu jika betul Sino telah membaca
diarynya. Dita melangkah ke arah meja yang tadi dipakai Sino untuk menulis. Ada
selembar kertas di sana. Apa salahnya
jika aku membaca tulisan Sino, mungkin saja tadi dia juga membaca tulisanku. Batin
Dita. Ia mengambil kertas tersebut dan mulai membaca tulisan di dalamnya.
Betapa
sulit untukku menolak segala deburan yang mengguyur laut hatiku. Aku tak tahu
sejak entah kapan perasaan ini bermula. Segalanya tiba begitu saja. Dan
anehnya, aku baru menyadari bahwa perasaan itu
adalah cinta. Ya, cinta. Untukmu yang setahun ini kukenal; Dita...
“Sino...,” desah Dita yang gugup setelah membaca
puisi Sino.
Baru selesai membaca tulisan Sino, tiba-tiba sang
pemilik tulisan kembali memasuki ruangan. Dita semakin gugup , ia
menyembunyikan tangannya yang masih memegang selembar puisi Sino. Ia menunduk.
Sementara Sino menatap Dita curiga.
“Dit, apa salah jika aku dari dulu tak punya nyali
untuk sekedar memberikanmu perhatian?” tanya Sino serius. Lagaknya seperti bintang
FTV saja.
“Maksud kamu apa Sin?” Dita berbalik bertanya.
Berpura-pura dalam kegugupannya.
“Sudahlah, aku sudah membaca diarymu, aku juga
melihat kamu membaca tulisanku, kan? Apalagi yang mesti kita sembunyikan?”
jawab Sino, suaranya gemetar. Ia benar-benar gugup. Begitu pula dengan Dita, ia
tampak lebih gugup menahan malu.
“Kamu gak salah Sin,” sahut Dita. Menjawab
pertanyaan Sino yang pertama, “Kamu gak salah kalau kamu gak punya nyali.”
Mereka berdua diam. Selang beberapa detik, Sino
memberanikan diri untuk bertanya pada Dita, “Dit, kamu setuju gak kalau aku
bilang ada cinta di ruang osis ini?”
“Cinta siapa?”
“Cinta kita, cintaku dan cintamu.”
“Aku setuju sih,” jawab Dita tersenyum. Mereka
saling beradu mata. Lalu tertawa. Seketika ruang osis terasa begitu menjadi
tempat yang romantis bagi mereka.
Di tengah kebahagiaan yang baru mereka rasakan, Sino
menceletuk bertanya, “Jadi, kamu juga menyukaiku, Dit?
“Enggak...,” jawab Dita, lantas tertawa.
“Ah, kamu bikin aku gugup saja,” Sino ikutan
tertawa.
Akhirnya mereka berdua tertawa bersama di dalam
ruang osis yang penuh cinta.
0 komentar:
Posting Komentar